Hujan gerimis menyambut kedatangan saya di Terminal
Bayuangga Probolinggo malam itu. Sepi, begitulah suasana yang saya rasakan
ketika tiba di terminal kedatangan. Setelah saya mengirim pesan kepada panitia,
kemudian bergabunglah saya dengan para peserta yang sudah berkumpul di salah
satu sudut terminal. Satu per satu pun kami pun saling berkenalan, menanyakan
nama dan daerah asal. Di sinilah kami, para peserta dari beberapa kota di
Indonesia berkumpul dalam acara Tour De Probolinggo, sebuah acara yang mengkolaborasikan
antara kegiatan wawasan alam, penyelamatan lingkungan, dan membumikan kearifan.
Bagi saya, acara ini merupakan salah satu wahana untuk memperkenalkan potensi
wisata alam dan budaya yang dimiliki oleh Kawasan Probolinggo.
Tepat pukul 11 malam seluruh peserta sudah berkumpul di
Terminal Bayuangga. Pada tengah malam ini peserta dijadwalkan menuju Gunung
Bromo untuk melihat matahari terbit pada keesokan harinya. Namun sayang,
kondisi alam berkata lain. Hujan turun dengan lebat di lereng sana sehingga
mengharuskan kami untuk tetap tinggal di kota demi keselamatan para peserta.
Tak ada kasur empuk, tak ada selimut hangat, kami semua menggelar matras dan
menjadikan tas ransel kami sebagai bantal. Tapi dari sinilah suasana akrab
dimulai, walaupun kami masih terasa kaku untuk saling berkenalan dan berbincang
akrab. Kalau orang Jawa Timuran memberi istilah “cangkruk”, kata lain dari jagongan, kongkow, atau nongkrong
bareng sambil membicarakan beberapa topik pembicaraan. Tak terasa kantuk pun
mulai menyergap, kami semua tidur bersama ditemani dengan gigitan nyamuk-nyamuk
terminal yang cukup ganas menghisap darah dari tubuh kami.