Sekitar dua tahun belakangan ini sepertinya trend
traveling/backpacking sedang gencar-gencarnya mewabah di semua kalangan. Dari
yang hanya sekedar hobi, menyenangkan diri sendiri, hingga menjadi upaya untuk
pencarian jati diri. Trend traveling memang membawa berbagai dampak, baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Taruh saja dampak positif dengan
mewabahnya tren ini adalah semakin mudahnya akses informasi untuk menuju lokasi
yang ingin kita kunjungi. Untuk dampak negatifnya, saya tidak akan memberikan
banyak ulasan dalam tulisan ini. Silahkan Anda kaji dan amati sendiri, dampak
negatif apa yang Anda rasakan selama mengunjungi lokasi tujuan.
Wabah
traveling juga menghasilkan beberapa profesi yang sebelumnya luput dari
perhatian khalayak ramai. Sebut saja profesi sebagai travel writer dan travel
photografer. Entah sudah berapa banyak orang yang menasbihkan diri sebagai
seorang travel writer dan travel photografer, baik yang terjun ke
dalam dunia profesional, maupun menampilkan hasil karya mereka ke dalam blog
personal.
Saya tidak
menampik bahwa tulisan di blog personal telah berhasil menghantarkan saya untuk
mencicipi sisi lain profesi yang berkaitan dengan dunia traveling. Saya pernah
menjadi seorang travel writer, baik
sebagai penulis tetap maupun penulis
lepas. Pada awalnya saya cukup menikmati pekerjaan yang saya dapatkan, namun
pada akhirnya hati nurani saya bergejolak. Menjadi pekerja tetap memang
membutuhkan komitmen yang tinggi. Kita harus mampu menyesuaikan diri dengan
ritme kerja serta standar yang ditetapkan oleh atasan, termasuk juga di dalam
membuat sebuah tulisan. Ada semacam norma-norma tertentu yang ditetapkan oleh
perusahaan di dalam mempublikasikan sebuah tulisan. Sebagai seorang pemula,
idealisme yang saya pegang masih belum bisa menerima keadaan yang telah
ditetapkan oleh kantor tempat saya bekerja.
Lalu apa
pilihan saya waktu itu? Dengan tekat bulat akhirnya saya memutuskan untuk
berhenti dari pekerjaan tersebut. Sebuah pekerjaan yang mungkin saja menjadi
idaman banyak orang di luar sana yang sedang menggilai dunia traveling. “Kurang
apa coba, kamu traveling gratis, fasilitas dan akomodasi gratis, plus mendapat
bayaran pula dari hasil tulisan yang kamu setorkan kepada editor. Lalu mengapa
kamu memutuskan untuk keluar? Dasar bego kau ini Dik !”, kilah teman saya. Tapi
tekat saya sudah bulat, saya memilih keluar dari pekerjaan tetap.
Menjadi
pekerja lepas pun tak kalah menimbulkan gejolak batin yang saya rasa. Risikonya
memang lebih besar, namun di sisi lain saya masih bisa mempertahankan idealisme
yang saya pegang. Banyak suka duka yang saya rasakan menjadi pekerja lepas.
Mulai dari di PHP-in editor, harus rela menunggu editor selama berjam-jam gara-gara
kesibukannya, kontrak kerja yang tidak jelas bahkan hampir sama sekali tidak
ada, hingga bayaran yang molor tiba di rekening saya. Lalu apakah saya menyesal
menjadi pekerja lepas? Tidak, sama sekali tidak, saya menganggap semua itu
sebagai sebuah pembelajaran memasuki dunia kerja yang sebenarnya ke depan.
Saya ingat
ketika dahulu awal-awal mengenal dunia tulis-menulis di halaman blog personal.
Esensi dari perjalanan-perjalanan yang saya lakukan adalah mengumpulkan
informasi kemudian membaginya ke dalam sebuah cerita. Saya melihat ada sedikit celah, yaitu kurangnya data dan ulasan yang mendalam dari beberapa tulisan yang saya baca (menurut saya). Tak ada salahnya kan membagikan sedikit cerita dengan data yang lebih lengkap untuk beberapa lokasi yang ingin dikunjungi? Awal tahun 2011 saya
mulai rajin untuk berkeliling beberapa tempat di Jogja dan sekitarnya, kemudian
menceritakannya ke dalam sebuah tulisan yang saya posting di halaman blog
pribadi saya. Sama sekali tidak terpikir untuk mendapatkan uang dari hobi saya
ini. Saya menjalani semua tanpa beban, saya benar-benar menikmati apa yang saya
lakukan ketika itu. Saya tidak ambil pusing dengan hasil gambar, saya tidak
pernah ambil pusing dengan data dan informasi tentang lokasi tujuan. Semua
terasa lepas dan mengalir apa adanya.
Dalam
perkembangannya, saya pun mengenal penghasilan dari perjalanan yang saya
lakukan. Blog yang saya kelola menjadi salah satu portfolio untuk menjual diri saya. Dari situlah sedikit demi
sedikit timbul sebuah beban. Beban untuk bagaimana mendapatkan gambar yang
bagus selama perjalanan. Beban untuk bagaimana mencari data dan fakta kemudian
mengemasnya ke dalam sebuah cerita yang menarik untuk dibaca. Ini adalah
perjalanan, bukan sebuah penelitian bukan? Penelitian memang membutuhkan riset
yang mendalam, namun bukankah perjalanan seharusnya mengalir apa adanya begitu
saja tanpa beban? Dari situlah saya merasa perjalanan saya menjadi hambar dan
tak berkesan. Lalu sekarang apa esensimu melakukan sebuah perjalanan? Apakah
ingin mendapatkan uang, mendapatkan ketenaran dengan jumlah followers sekian
banyak di akun sosial media, mendapatkan labeling sebagai seorang pejalan dari
orang-orang yang kamu kenal, menjadikan perjalanan sebagai sebuah kenikmatan,
atau adakah esensi lain dari perjalanan-perjalanan yang Anda lakukan? Apakah di
tahun 2014 ini kamu masih akan terus melakukan perjalanan-perjalanan itu Dik?
Saya tak mau terjebak dalam perburuan uang, sementara saya tak kenal dunia di mana saya hidup. Tenang saja, saya masih terikat kontrak dengan gunung Merapi dan laut Selatan untuk mengarungi bumi Mataram.
ReplyDeleteselamat mengarungi bumi Mataram mas, saya tunggu cerita dan ulasannya :)
Delete