Thursday, August 30, 2012

Gangsiran Aswotomo, Sebuah Sumur Ataukah Saluran Pembuangan Air Kuno?


Situs Gangsiran Aswotomo mungkin masih terdengar asing di telinga para travellers yang sedang berkunjung di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Keberadaan situs ini memang tidak sepopuler situs-situs lain yang berada di kawasan ini. Secara fisik, Situs Gangsiran Aswotomo ini sangat mudah dijumpai karena lokasinya yang strategis, yaitu dekat dengan kompleks percandian Arjuna dan juga terletak di pinggir jalan persis, tepatnya di dekat pertigaan menuju Museum Kailasa. Sekilas situs ini memang terlihat "aneh", bahkan tidak lazim seperti situs-situs sejarah yang biasa kita temui atau kunjungi. Situs ini terlihat "hanya" seperti sebuah bangunan gazebo yang terbuat dari kayu dan beratapkan genting, namun tidak ada tempat untuk duduk. Jika diamati lebih dekat, di tengah-tengah bangunan mirip gazebo tersebut terdapat lubang dengan kedalaman kira-kira tiga sampai dengan lima meter dan terdapat genangan air di dalamnya. 


Satu pertanyaan yang kemudian melayang di kepala saya adalah bangunan ini sebenarnya sebagai tempat pembuangan sampah, lapangan untuk tempat berjemur warga sekaligus sebagai tempat menjemur pakaian, sumurkah, atau saluran pembuangan air? Saya kira tempat pembuangan sampah karena di dalam lubang Gangsiran Aswotomo tersebut terlihat sampah-sampah rumah tangga yang dimasukkan ke dalam lubang. Seperti lazimnya orang-orang di daerah pedesaan yang biasanya membuat lubang di pekarangan rumah untuk menampung sampah rumah tangga. Tapi sepertinya tidak mungkin jika bangunan tersebut "hanya" sebuah tempat pembuangan sampah bukan? Lokasi tersebut sebagai tempat berjemur dan tempat menjemur pakian warga? Agak janggal memang, tetapi faktanya di sekitar lokasi bangunan tersebut banyak warga terutama pada pagi menjelang siang banyak yang bersantai di sekitar rerumputan untuk berjemur menghangatkan badan serta tak lupa juga banyak warga yang menjemur pakaian mereka agar lebih cepat kering. Yak, kebiasaan warga inilah yang menjadikan rata-rata warga di kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki kulit yang rata-rata berwarna sawo kematangan, karena mereka berjemur pada saat matahari cukup terik, yaitu sekitar pukul 10 pagi hingga 12 siang.


Jika dikatakan sebagai sebuah sumur, memang sekilas bangunan ini lebih mirip dengan sumur, yaitu dengan adanya lubang dan juga genangan air. Namun jika dikatakan sumur agak sedikit janggal juga mengingat kedalaman lubang yang tak seberapa serta air yang ada di dalamnya tidak terlalu jernih. Lagi pula jika ingin menggali sumur di daerah pegunungan bukannya membutuhkan kedalaman yang cukup dalam bukan? Dari beberapa informasi yang saya dapat dari penduduk sekitar sih Gangsiran Aswotomo ini lebih berfungsi sebagai saluran pembuangan air yang berfungsi untuk mengeringkan air yang menggenangi wilayah Dataran Tinggi Dieng, terutama di daerah sekitar kompleks Candi Arjuna karena kontur tanahnya yang memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Konon katanya zaman dahulu kompleks percandian Arjuna ini merupakan bekas telaga atau rawa. Jika dirasakan sih kontur tanah di kompleks tersebut mirip seperti lahan gambut karena cukup empuk ketika diinjak. Gangsiran Aswotomo ini berfungsi untuk mengalirkan air yang menggenangi area percandian Arjuna sehingga kompleks tersebut bebas dari genangan air.

Terlepas dari cerita yang beredar tersebut, kondisi Gangsiran Aswotomo ini memang terlihat cukup memprihatinkan karena masih kurangnya perawatan dan kurangnya kesadaran masyarakat sekitar akan nilai historis dari bangunan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya sampah-sampah yang dibuang begitu saja di dalam lubang Gangsiran Aswotomo tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya informasi yang lebih rinci mengenai sejarah maupun fungsi keberadaan bangunan Gangsiran Aswotomo ini. Memang sih sekilas tempat ini kurang memiliki point of interest dibandingkan dengan obyek-obyek lainnya. Seandainya saja terdapat informasi mengenai bangunan ini tentu saja akan lebih menambah nilai edukasi bagi pengunjung di kawasan Dataran Tinggi Dieng ini.

Thursday, August 23, 2012

Mencermati Kehidupan Masyarakat di Kawasan Dataran Tinggi Dieng


Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kawasan Dataran Tinggi Dieng pun akhirnya berakhir pada 14 Agustus 2012 kemarin. Program ini mengharuskan kami untuk tinggal selama kurang lebih 5 minggu di tempat yang telah kami pilih. Ya, selama 5 minggu tersebut saya tinggal di Desa Bakal, sebuah desa di kawasan Dataran Tinggi Dieng, sebuah desa yang sedikit jauh dari hiruk pikuk keramaian namun memiliki pemandangan alam yang cantik, serta masyarakatnya yang sangat ramah. Di desa ini pula tinggallah kami ber-13, yang memiliki latar belakang, sifat, watak, dan karakter yang beraneka-macam, yang disatukan di dalam sebuah rumah yang kami sebut basecamp. Di basecamp inilah berbagai cerita terbentuk selama 5 minggu, baik cerita sedih, cerita cinta, cerita bahagia, bahkan terkadang juga ada sedikit perdebatan kecil di antara kami. Di basecamp ini pula terjalinlah ikatan emosional seperti sebuah keluarga, baik sesama penghuninya sendiri maupun dengan masyarakat sekitar. 


Tinggal selama 5 minggu di kawasan Dataran Tinggi Dieng sebenarnya memberikan saya waktu yang lebih dari cukup untuk mengeksplorasi keindahan alam di wilayah ini. Oh iya, kawasan Dataran Tinggi Dieng ini secara administratif terletak di antara Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Menurut pengamatan saya sih banyak obyek-obyek wisata di kawasan ini terletak di Kabupaten Banjarnegara, namun image yang sudah melekat di masyarakat bahwa wilayah Dataran Tinggi Dieng lebih terkenal terletak di Kabupaten Wonosobo, hal ini disebabkan oleh akses masuk ke lokasi yang lebih mudah dicapai dari Kabupaten Wonosobo. Dataran Tinggi Dieng memang merupakan salah satu destinasi pariwisata andalan di Propinsi Jawa Tengah. Selain keindahan pemandangan alam, wilayah Dataran Tinggi Dieng ini juga menawarkan atraksi wisata menarik seperti wisata sejarah, wisata pendidikan terutama mengenai geothermal atau panas bumi, karena kawasan Dieng merupakan salah satu area penghasil panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk sumber energi. Khusus untuk potensi panas bumi ini sudah dikelola oleh sebuah perusahaan, yaitu PT Geodipa Energi. Selain wisata-wisata tersebut, kawasan Dataran Tinggi Dieng juga tak lupa menyajikan wisata menarik seperti wisata budaya yang dikemas di dalam acara Dieng Culture Festival. Untuk acara Dieng Culture Festival ini diselenggarakan satu tahun sekali, namun sayang ketika saya datang acara tersebut baru saja selesai dilaksanakan. Oh iya satu hal lagi yang menjadi daya tarik di Dieng adalah keberadaan anak berambut gimbal yang merupakan bawaan sejak lahir. Konon anak yang memiliki rambut gimbal ini merupakan titisan dewa dan mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh keluarganya. Nah, dalam acara Dieng Culture Festival ini juga dijadikan sebagai ajang ruwatan bagi anak-anak berambut gimbal ini, yaitu diadakannya pemotongan rambut gimbal yang memang tidak bisa sembarangan dilakukan.



Dalam bahasa Jawa kuno, nama Dieng diartikan sebagai daerah pegunungan tempat tinggal para dewa. Hal ini mungkin saja diartikan demikian rupa karena di kawasan ini banyak ditemukan bangunan-bangunan candi  bercorakkan agama Hindu yang diperkirakan merupakan bangunan candi tertua di Jawa. Kehidupan masyarakat di Dataran Tinggi Dieng terbalut dalam nuansa kehidupan yang religius, dengan agama Islam sebagai agama mayoritas di kawasan tersebut, pun begitu nuansa humanis pun tetap tercipta di antara sesama. Sektor pertanian pun menjadi andalan utama perekonomian masyarakat setempat. Tanaman kentang merupakan komoditi utama sektor pertanian di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Hasil tanaman kentang dari daerah Dieng terkenal dengan kualitasnya yang super. Selain tanaman kentang, kawasan ini juga menjadi penghasil tanaman buah carica, yaitu tanaman yang hanya bisa hidup di atas ketinggian 2000 meter dpl. Konon katanya tanaman yang masih satu marga dengan pepaya ini hanya hidup di Brazil dan Dataran Tinggi Dieng saja. Selain itu terdapat pula tanaman purwaceng yang dijuluki sebagai "viagra van java" karena khasiatnya sebagai penambah stamina lelaki dewasa. Selain tanaman kentang, carica, dan purwaceng, tanaman sayur mayur serta tembakau juga dikembangkan di kawasan ini.



Selain dari sektor pertanian, sektor pariwisata pun juga dijadikan sebagai salah satu tumpuan perekonomian masyarakat. Tak dapat dipungkiri lagi pesona kawasan Dataran Tinggi Dieng menjadi salah satu destinasi yang menarik bagi wisatawan. Beberapa penduduk mengelola homestay, warung makan, penjaja cindera mata, jasa ojek, guide dan sebagainya guna menunjang kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. Satu hal yang saya garis bawahi mengenai pengelolaan wisata di kawasan ini adalah belum adanya kesadaran baik dari pihak pemerintah daerah maupun dari penduduk sendiri untuk mengelola potensi pariwisata di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Hal ini terindikasi dari hal yang cukup kasat mata, misalnya saja fasilitas umum seperti tempat parkir, toilet, dan sebagainya yang masih belum terawat dengan baik.

Dataran Tinggi Dieng memiliki ketinggian rata-rata sekitar 2.000 meter dpl. Suhu udara di kawasan ini terbilang cukup dingin dengan suhu udara berkisar 15 sampai dengan 20 derajat Celcius pada siang hari, sedangkan menjalang malam suhu udara dapat mencapai 10 derajat Celcius. Pada musim kemarau terutama pada bulan Juli sampai Agustus suhu udara dapat mencapai -5 derajat Celcius pada pagi hari, sehingga muncul fenomena embun beku yang biasa disebut warga sekitar sebagai bun upas atau "embun racun" karena embun tersebut dapat merusak tanaman kentang yang merugikan masyarakat. Jangan heran dengan udara yang sedingin ini, Anda hanya akan menemukan sinar matahari hanya beberapa jam saja setiap harinya, yaitu sekitar pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00 siang, selain pada jam-jam tersebut, biasanya akan turun kabut. Lebih disarankan bagi Anda yang ingin hunting landscape di wilayah ini, sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar tidak terganggu oleh kabut.


Oh iya, selain udara yang dingin, air di kawasan Dataran Tinggi Dieng juga tak kalah dinginnya. Sudah bukan rahasia umum lagi jika bermukim di kawasan ini menjadikan kita jarang mandi karena airnya yang dingin bagai bongkahan es batu yang mencair. Ya, sempat sih awal-awal tinggal di sini membuat saya tidak berani mandi selama 3 hari berturut-turut. Untuk mensiasati air yang dingin ini banyak warga yang tergolong mampu secara ekonomi memilih memasang water hitter untuk mandi. Ada kebiasaan unik masyarakat di kawasan Dataran Tinggi Dieng ini, antara lain adalah kebiasaan berjemur di bawah terik sinar matahari pada pagi hari untuk mengusir hawa dingin di badan. Jangan kira tinggal di pegunungan membuat kulit menjadi putih karena udara dingin, yang ada kulit kami rata-rata gosong karena paparan sinar matahari yang cukup menyengat di kulit.


Yak, hidup 5 minggu di kawasan Dataran Tinggi Dieng, terutama di Desa Bakal ini banyak sekali memberikan pengalaman. Saya bagaikan menemukan keluarga baru di sini. Walaupun terkadang udara di sini dingin bukan main, namun saya sangat betah untuk tinggal di sini. Keindahan pemandangan alamnya, keramahan dan kesahajaan penduduknya, serta masakan yang sederhana namun nikmat tiada tara. Ingin rasanya mengulangi masa-masa ber-KKN di Desa Bakal, Dataran Tinggi Dieng ini :)

Disclaimer

all photos and articles in this blog copyright by Andika Hermawan
if you want to use any photos and articles in this blog please contact me for further information
feel free to ask me :)

another social media account :
twitter @andikaawan
instagram @andikaawan
email : dikahermawandika@yahoo.com