Thursday, March 28, 2013

Hargo Dumilah - Perjalanan Menuju 3265 MDPL yang Penuh Hikmah (Part III)

Tanjakan demi tanjakan sepanjang jalan setapak pun kami lalui disertai dengan hujan gerimis dan jatuhnya senja yang setia menemani. Udara dingin yang menyelimuti seolah tidak terlalu kami hiraukan sama sekali. Hingga pada akhirnya senja pun berganti dengan gelapnya malam yang kini menemani. Kami putuskan untuk mendirikan tenda di pos kedua. Sembari mengistirahatkan badan untuk kemudian melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Hangatnya mie rebus, kopi hitam, dan beberapa cemilan seolah semakin melengkapi obrolan hangat dalam pendakian gunung kali ini. Hari pun semakin larut, kami pun mulai terlelap tidur di dalam tenda yang beralaskan sleeping bag yang kami bawa.


Kamis, 31 Januari 2013
Suara gemuruh dan bau belerang yang sedikit menyengat yang berasal dari aktivitas sumur vulkanik pegunungan pun membangunkan saya dari tidur singkat semalam. Udara pegunungan yang segar, suasana hening diselingi dengan kicuan burung liar seolah menyambut pagi saya ketika keluar dari dalam tenda. Sesekali terlihat buurung-burung liar yang berlarian melompat-lompat di atas rerumputan seolah-olah mengajak untuk berkenalan. Selesai mengisi perut dan merapikan tenda, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan setapak untuk mencapai puncak.

Perjalanan menuju pos puncak kali ini memakan waktu seharian, dari pagi hingga sore menjelang. Maklum, sebagian dari kami merupakan pendaki pemula, dan waktu pendakian bukanlah target utama. Jalan yang semula cukup datar kemudian berganti dengan jalan setapak yang cukup terjal. Beberapa kali saya harus berhenti untuk mengatur nafas sebelum menaiki jalanan terjal tersebut. Di dalam setiap tempat peristirahatan, saya melihat pemandangan alam yang cantik dengan latar perbukitan yang menjulang. Awan-awan putih yang berjalan perlahan seolah berada di bawah kaki kita. Sayang, saya tak sempat mengabadikan karena terlalu sibuk mengatur nafas yang sedikit tersengal. Langkah demi langkah pun kami lalui hingga pada akhirnya tiba di pos ketiga. Di pos ini pun kami bertemu dengan rombongan pendaki dan tak lupa kami pun bertegur sapa, serasa seperti keluarga.

Selepas pos ketiga kami menemukan sebuah mata air yang sangat jernih. Kami pun berhenti untuk mengambil air yang sudah mulai habis untuk perbekalan selama perjalanan nanti. Jujur, perjalanan menuju pos keempat merupakan perjalanan yang paling berat menurut saya, apalagi jika sudah melalui daerah Pasar Setan, tempat yang konon ketika malam sering terdengar suara kegaduhan. Lokasi Pasar Setan ini berupa jalan setapak kecil yang penuh dengan bebatuan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup curam serta diapit oleh jurang di salah satu sisinya. Cuaca di kawasan ini juga cukup labil, kadang cerah, namun tiba-tiba kabut tebal turun seketika. Untuk menghemat waktu beberapa teman saya memilih melewati jalur short cut dengan kemiringan yang cukup curam. Hal ini semakin menguras tenaga kami dalam perjalanan pendakian ini.



Rasa lelah dengan medan yang curam seolah hilang setelah kami melihat sebuah gubug sederhana, gubug yang dijadikan sebagai pos peristirahatan yang diberi nama pos keempat. Di sini kami merasa kegirangan karena menemukan sebuah padang rumput dengan tanah yang cukup lapang. Di bagian ini juga terdapat monumen peringatan pendaki yang menjadi korban dan meregang nyawa di Gunung Lawu ini. Satu hal yang saya petik dari tugu monumen tersebut, kita harus selalu waspada dan berhati-hati selama melakukan pendakian. Dari pos empat perjalanan pun kami lanjutkan menuju Hargo Dalem, sebuah warung makan sederhana sekaligus sebagai tempat peristirahatan para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi Gunung Lawu ini.


Tak terasa senja pun hampir tiba ketika kami tiba di Hargo Dalem. Sebuah gubug sederhana seolah menyambut kedatangan kami yang ingin segera merebahkan kaki. Ah, akhirnya kami juga di warung makan sederhana miliki Mbok Yem ini. Kami pun segera masuk ke dalam warung untuk meletakkan barang sambil memesan nasi pecel untuk memberi jatah makan perut kami yang semenjak tadi sudah tidak dapat diajak kompromi.

Saturday, March 16, 2013

Heritage Cafe - Hidangan Mewah dengan Harga Relatif Murah

Variasi menu dengan bahan dasar tempe, saya selalu teringat dengan Heritage Cafe !


Perjalanan menjelajahi kuliner unik saya kali ini kembali ingin mereview beberapa menu yang ada di Heritage Cafe. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya mereview beberapa menu yang tergolong sebagai cemilan, bukan main course dari cafe ini. Heritage Cafe merupakan sebuah cafe mungil yang berada di Jalan Surokarsan 24, tepatnya di sebelah selatan Lembaga Permasyarakatan Wirogunan. Menempati sebuah rumah yang mungil dengan gaya bangunan tempo dulu, membuat Heritage Cafe ini memiliki atmosfer jadul yang elegan. Cafe ini memang tidak terlalu besar, meja dan kursi tamu ditata di bagian teras depan sehingga memberikan nuansa semi outdoor  yang menyenangkan. Jika Anda ingin suasana yang lebih privat, Anda dapat memilih ruangan yang berada di bagian dalam bangunan. 

Thursday, March 14, 2013

Hargo Dumilah - Perjalanan Menuju 3265 MDPL yang Penuh Hikmah (Part II)

Goncangan dari kendaraan yang melaju cukup kencang tiba-tiba saja membangunkan saya dari tidur singkat siang itu. Jalanan yang semula datar kini mulai naik-turun dengan kelokan-kelokan yang cukup tajam di beberapa sudut jalan. Sejuknya hawa lereng pegunungan kini sudah mulai terasa. Pemandangan sawah-sawah dengan kontur terasiring mulai terlihat di kanan-kiri jalan. Ah, akhirnya sudah memasuki kawasan lereng Gunung Lawu juga. Siang itu mata saya cukup tercengang dengan pemandangan anak sekolah yang naik angkot berdiri di bagian belakang. Badan mereka memeluk bagian kaca belakang mobil bak spyderman  yang merangkak di sebuah gedung yang tinggi. Miris juga melihat keadaan mereka yang harus berjuang sedemikian rupa untuk dapat pulang-pergi ke sekolah. Minimnya akses kendaraan umum memaksa mereka harus berjuang sedemikian rupa untuk dapat terangkut oleh angkot, entahlah, apakah mereka tidak terlalu memperdulikan nyawa mereka, yang penting segera sampai di rumah tercinta barangkali.

Pandangan mata saya kemudian disibukkan dengan pemandangan perbukitan yang cantik di sepanjang jalan. Tak berapa lama kemudian bus yang saya tumpangi pun memasuki terminal Tawangmangu. Terminal ini berada tepat di depan pasar Tawangmangu. Walaupun masih berupa pasar tradisional, namun pasar ini sudah mengalami revitalisasi sehingga nyaman untuk dikunjungi. Pasar ini terkenal dengan dagangan hasil bumi yang beraneka ragam dan juga masih sangat segar. Anda dapat berburu barang-barang hasil pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, aneka macam olahan keripik sebagai buah tangan. Saya jadi ingat, dulu setiap kali ke Tawangmangu bersama keluarga, oleh-oleh yang tak boleh terlewat ketika menyambangi pasar ini adalah pisang, jeruk Tawangmangu yang memiliki rasa kecut segar, ketela ungu, dan juga keripik ketela. Selain hasil bumi, pasar ini juga menyediakan kuliner dengan harga yang murah meriah, serta tempat yang cukup bersih.


Walau siang itu perut kami sudah kelabakan minta jatah, namun kami memilih untuk segera meneruskan perjalanan agar tidak terlalu sore tiba di pos awal pendakian. Turun dari bus, kami sudah ditawari oleh bapak-bapak sopir angkot yang mangkal di dekat pasar. Angkot di daerah Tawangmangu berupa Mitsubishi Colt karena memiliki bodi yang lumayan besar dan kekuatan mesin yang tahan untuk medan naik turun. Ah, Tawangmangu sekarang hawanya tidak sedingin dulu. Tujuan kami selanjutnya adalah pos pendakian di   Cemoro Kandang untuk titik awal pendakian. Siang itu lalu lintas cukup lengang, begitu pula dengan penumpang di angkot. Sepanjang jalan mata akan dimanjakan dengan pemandangan vila-vila yang bertebaran. Satu hal yang saya ingat selalu mengenai bangunan rumah di daerah Tawangmangu ini adalah atap rumah yang dibangun cukup pendek, hal ini berguna agar ruangan menjadi lebih hangat.

Wednesday, March 13, 2013

Hargo Dumilah - Perjalanan Menuju 3265 MDPL yang Penuh Hikmah (Part I)

Tak ada bayangan di benak sebelumnya jika pada akhirnya kaki ini pernah menyusuri jalan-jalan setapak yang terkadang datar, namun tak jarang pula memiliki kontur yang terjal. Berjalan kaki dengan beban yang dipanggul di pundak, melawan tipisnya udara yang ada, namun setiap perjalanan selalu memiliki beragam makna.

Entah ada angin apa tiba-tiba saja saya meng-iya-kan ajakan teman saya untuk melakukan ekspedisi pendakian ke Gunung Lawu. Jujur saya tidak punya pegalaman sebelumnya untuk melakukan sebuah pendakian. Mungkin hanya sedikit pengalaman mendaki Gunung Api Purba NglanggeranGunung Bromo, dan terakhir adalah Bukit Sikunir ketika saya sedang melakukan KKN di kawasan Dieng. Lokasi-lokasi tersebut boleh dikatakan trek pendakian gunung "bukan sebenarnya", karena medan yang ditempuh masih tergolong mudah. Perburuan sunrise di Bukit Sikunir inilah yang seolah menimbulkan rasa "ketagihan" untuk kembali menikmati suasana pagi dari atas pegunungan. Tanpa ada sebuah persiapan fisik sebelumnya, hanya membawa bekal seadanya, mengandalkan pengalaman dari dua orang yang pernah melakukan pendakian sebelumnya, dengan bermodalkan nekat dan tekat, akhirnya enam anak manusia berkelana memulai perjalanan untuk melakukan pendakian menuju puncak Gunung Lawu.

Thursday, March 7, 2013

Soto Djiancuk - Kenikmatan di Balik Kata Umpatan

Mendengar kata "djiancuk" atau biasa diucapkan dengan sebutan "jancuk" mengingatkan kita pada sebuah kata umpatan khas daerah Jawa Timuran yang memiliki makna yang kasar. Namun apa jadinya jika kata "djiancuk" dijadikan sebagai salah satu branding tempat makan? Tentu saja pemberian embel-embel "djiancuk" ini akan menciptakan rasa penasaran bagi siapa saja yang mendengarnya. Ya, di salah satu sudut Kota Yogyakarta terdapat sebuah warung soto yang bernamakan "Soto Djiancuk". 



Warung Soto Djiancuk ini terletak di daerah Sonopakis, sebelah barat Universitas PGRI Yogyakarta.

Monday, March 4, 2013

Parangtritis dalam Balutan Lembayung Senja

Banyak rasa yang terpendam dan tak dapat terungkap dalam rangkaian kata. Dia mencoba berlari mengejar senja hingga ujung samudera. Mungkin hanya dengan senja beradu dengan ganasnya ombak samudera bisa sejenak melupakan segala beban pikiran yang sedang dirasa. Parangtritis, menjadi tempat pelarian untuk kesekian kalinya dengan pemandangan senja menjadi incarannya.


Tak perduli berapa banyak orang yang lalu lalang di sekelilingnya, toh tak seorang pun yang dikenalnya. Hanya sebuah kamera yang ada pada genggaman dan tak perduli bagaimana ia memainkan. Kesendirian membawanya hanyut dalam suasana pesisir pantai yang dia damba. Samar-samar dari kejauhan terlihat sosok nelayan berjalan menyusuri tepian pantai dengan jaring kecil di kedua tangannya. Sesekali gelombang besar menghantam dan seolah tak ada rasa ketakutan terpancar di antara raut wajah mereka. Apa yang mereka cari? Entahlah, mungkin saja undur-undur laut yang akan mereka jadikan keripik renyah kemudian mereka jajakan guna menyambung kehidupan.


Pandangannya pun kini beralih pada hamparan pasir kering yang tak tersentuh oleh ombak. Dia duduk termangu melihat luasnya hamparan laut berpadu dengan semilir angin angin laut yang membuat suasana makin syahdu. Matahari perlahan berjalan menuju peraduan. Namun sayang, apa yang dia nantikan tak kunjung datang. Sang mentari pergi meninggalkan bumi diiringi sekumpulan awan mendung yang berjalan perlahan. "Ah, sepertinya moment golden sunset tidak akan datang", gumamnya dengan sedikit menyiratkan raut muka kecewa. 



Perempuan dalam temaram senja,
Yogyakarta, Februari 2013

Disclaimer

all photos and articles in this blog copyright by Andika Hermawan
if you want to use any photos and articles in this blog please contact me for further information
feel free to ask me :)

another social media account :
twitter @andikaawan
instagram @andikaawan
email : dikahermawandika@yahoo.com