Nikmatilah setiap jengkal perjalanan, jangan ragu untuk berbincang dengan penduduk sekitar.
Perjalanan menyambangi keindahan Curug Banyunibo memberikan saya sebuah pembelajaran, bahwa sejatinya sebuah perjalanan bukanlah tentang destinasi yang kita tuju, melainkan bagaimana kita bisa menikmati setiap proses di dalam melakukan sebuah perjalanan itu sendiri.
Usai menikmati keindahan alam di Curug Banyunibo, perjalanan saya lanjutkan menuju Jurang Pulosari, salah satu air terjun yang lokasinya tak jauh dari Curug Banyunibo ini. Perjalanan menuju Jurang Pulosari pun tak kalah menantang. Jalan setapak dengan cor blok dengan medan naik turun dan sedikit berkelok pun tetap setia menemani sepanjang perjalanan.
Pertama kali saya mengetahui keberadaan Jurang Pulosari berdasarkan informasi yang dishare oleh mas Wijna di blognya. Melihat dari tulisan dan foto-foto yang ditulis, Jurang Pulosari ini memiliki pemandangan yang cukup cantik, namun medan jalan yang dilalui lumayan sulit. Semacam sebuah filosofi yang saya ingat, untuk mencapai "surga", jalan yang dilalui memang "berliku". Informasi tentang Jurang Pulosari ini masih tergolong minim, bahkan ketika saya mencoba mencari di mesin google, yang keluar tak jauh dari cerita wingit karena pernah dijadikan sebagai lokasi syuting acara Dua Dunia.
Dibutuhkan waktu berkendara sekitar 10 menit perjalanan dari Curug Banyunibo menuju Jurang Pulosari ini. Sepanjang perjalanan hanya ditemani kebun yang lebih mirip dengan hutan. Tampak tanah dengan kontur tandus dan tanaman yang mulai meranggas diterjang hawa panas musim kemarau. Seorang bapak-bapak setengah baya menghalau laju kendaraan saya sambil menawarkan halaman rumah miliknya untuk dijadikan tempat parkir. Tak salah memang jika saya memilih memarkirkan kendaraan di bagian atas, kemudian lanjut dengan berjalan kaki. Kontur jalan untuk menuju ke bawah memiliki jalan menurun yang sempit dengan lekukan yang cukup tajam sebelum akhirnya tiba di parkiran bagian bawah.
Jujur saya sedikit kaget dengan wujud asli Jurang Pulosari yang saya lihat langsung ketika itu. Cukup berbeda memang dengan gambar-gambar yang saya lihat di blog milik Mas Wijna. Mungkin lagi-lagi saya kurang beruntung karena datang pada saat hujan sudah mulai jarang. Antara percaya dan tidak percaya jika yang saya lihat adalah wujud asli dari Jurang Pulosari.
Tapi lagi-lagi saya harus akui jika air terjun ini memiliki karakteristik yang unik, yaitu terlihat sangat fotogenik ketika diabadikan dengan kamera. Di balik penampilannya yang sederhana terlihat pesona yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Jika debit air sedang tinggi, saya yakin pesona Jurang Pulosari akan lebih terpancar lagi.
Saya pun beranjak mengikuti aliran sungai untuk menuju daerah hulu. Belum sampai hulu saya berjalan, terlihat warga desa sedang bergotong royong membersihkan aliran sungai. Katanya tak lama lagi di salah satu sudut aliran sungai ini akan dimanfaatkan untuk arena lomba memancing. Acara tersebut bertujuan untuk menambah atraksi serta mengenalkan desa di sekitar Jurang Pulosari ini sebagai salah satu lokasi desa wisata.
Lelah dan dahaga pun perlahan menggerogoti tenggorokan saya yang sedari tadi berjalan-jalan tanpa diberikan asupan. Beruntung ada beberapa lapak sederhana milik warga yang berdiri di sekitar lokasi jalan menuju air terjun. Tanpa pikir panjang saya pun memesan segelas es Marimas yang terpampang di lapak sederhana tersebut. Saya pun iseng bertanya kepada sang penjual, dari penuturannya Jurang Pulosari ini memang belum lama dibuka untuk kegiatan pariwisata. Masih dalam tahap perintisan memang, namun saya yakin tempat ini memiliki cukup potensi untuk dikembangkan.
Ah, lagi-lagi perjalanan saya dikejutkan dengan harga minuman yang saya pesan siang itu. Coba tebak kira-kira berapa harga es Marimas yang saya pesan? Rp 4.000,00? Rp 3.000,00? Rp 2.000,00? Rp 1.000,00? BUKAN ! Harga segelas es Marimas di Jurang Pulosari hanya dihargai Rp 500,00 saja per-gelasnya ! Ah saya jadi tak tega ketika harus membayarnya :(
keterangan :
Usai menikmati keindahan alam di Curug Banyunibo, perjalanan saya lanjutkan menuju Jurang Pulosari, salah satu air terjun yang lokasinya tak jauh dari Curug Banyunibo ini. Perjalanan menuju Jurang Pulosari pun tak kalah menantang. Jalan setapak dengan cor blok dengan medan naik turun dan sedikit berkelok pun tetap setia menemani sepanjang perjalanan.
Pertama kali saya mengetahui keberadaan Jurang Pulosari berdasarkan informasi yang dishare oleh mas Wijna di blognya. Melihat dari tulisan dan foto-foto yang ditulis, Jurang Pulosari ini memiliki pemandangan yang cukup cantik, namun medan jalan yang dilalui lumayan sulit. Semacam sebuah filosofi yang saya ingat, untuk mencapai "surga", jalan yang dilalui memang "berliku". Informasi tentang Jurang Pulosari ini masih tergolong minim, bahkan ketika saya mencoba mencari di mesin google, yang keluar tak jauh dari cerita wingit karena pernah dijadikan sebagai lokasi syuting acara Dua Dunia.
Dibutuhkan waktu berkendara sekitar 10 menit perjalanan dari Curug Banyunibo menuju Jurang Pulosari ini. Sepanjang perjalanan hanya ditemani kebun yang lebih mirip dengan hutan. Tampak tanah dengan kontur tandus dan tanaman yang mulai meranggas diterjang hawa panas musim kemarau. Seorang bapak-bapak setengah baya menghalau laju kendaraan saya sambil menawarkan halaman rumah miliknya untuk dijadikan tempat parkir. Tak salah memang jika saya memilih memarkirkan kendaraan di bagian atas, kemudian lanjut dengan berjalan kaki. Kontur jalan untuk menuju ke bawah memiliki jalan menurun yang sempit dengan lekukan yang cukup tajam sebelum akhirnya tiba di parkiran bagian bawah.
Jujur saya sedikit kaget dengan wujud asli Jurang Pulosari yang saya lihat langsung ketika itu. Cukup berbeda memang dengan gambar-gambar yang saya lihat di blog milik Mas Wijna. Mungkin lagi-lagi saya kurang beruntung karena datang pada saat hujan sudah mulai jarang. Antara percaya dan tidak percaya jika yang saya lihat adalah wujud asli dari Jurang Pulosari.
Tapi lagi-lagi saya harus akui jika air terjun ini memiliki karakteristik yang unik, yaitu terlihat sangat fotogenik ketika diabadikan dengan kamera. Di balik penampilannya yang sederhana terlihat pesona yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Jika debit air sedang tinggi, saya yakin pesona Jurang Pulosari akan lebih terpancar lagi.
Saya pun beranjak mengikuti aliran sungai untuk menuju daerah hulu. Belum sampai hulu saya berjalan, terlihat warga desa sedang bergotong royong membersihkan aliran sungai. Katanya tak lama lagi di salah satu sudut aliran sungai ini akan dimanfaatkan untuk arena lomba memancing. Acara tersebut bertujuan untuk menambah atraksi serta mengenalkan desa di sekitar Jurang Pulosari ini sebagai salah satu lokasi desa wisata.
Lelah dan dahaga pun perlahan menggerogoti tenggorokan saya yang sedari tadi berjalan-jalan tanpa diberikan asupan. Beruntung ada beberapa lapak sederhana milik warga yang berdiri di sekitar lokasi jalan menuju air terjun. Tanpa pikir panjang saya pun memesan segelas es Marimas yang terpampang di lapak sederhana tersebut. Saya pun iseng bertanya kepada sang penjual, dari penuturannya Jurang Pulosari ini memang belum lama dibuka untuk kegiatan pariwisata. Masih dalam tahap perintisan memang, namun saya yakin tempat ini memiliki cukup potensi untuk dikembangkan.
Ah, lagi-lagi perjalanan saya dikejutkan dengan harga minuman yang saya pesan siang itu. Coba tebak kira-kira berapa harga es Marimas yang saya pesan? Rp 4.000,00? Rp 3.000,00? Rp 2.000,00? Rp 1.000,00? BUKAN ! Harga segelas es Marimas di Jurang Pulosari hanya dihargai Rp 500,00 saja per-gelasnya ! Ah saya jadi tak tega ketika harus membayarnya :(
keterangan :
- untuk menuju Jurang Pulosari ini cukup mudah, dari arah Curug Banyunibo tinggal susuri jalan setapak naik menuju pos ronda. Dari pos ronda belok ke kiri, lurus hingga menemukan pertigaan. Dari pertigaan tinggal belok saja ke kiri mengikuti petunjuk jalan yang sudah disediakan penduduk setempat
- jangan ragu untuk bertanya kepada penduduk setempat jika tidak mau tersasar
- tarif parkir motor Rp 2.000,00
- lokasi ini masih dalam tahap rintisan tempat wisata, jadi fasilitas umum seperti toilet belum ada
- jangan lupa untuk menjaga lingkungan sekitar, hal yang paling sederhana adalah tidak membuang sampah sembarangan :)
Apa dhemit-dhemit itu bermunculan karena saya pernah ke sana? hehehe.
ReplyDeleteYa memang sih, sudah bulan Juni, walaupun katanya Kemarau basah ya tetap saja debit airnya menyurut jadi tak terlihat indah lagi ya. Bisa jadi, geliat desa wisata ini juga hanya musiman, saat musim hujan saja. Semoga tidak ya.
ahahaha kayaknya gara-gara kamu datangi tempat itu jadi terkenal sekarang mas :))
Deletesemoga saja desa wisatanya ga musiman, banyak keindahan alam yang bisa dieksplorasi sih selain dari air terjunnya :D
ketemu burung merpati gak mas?
ReplyDeleteenggak nemu mas :))
Deletetapi suasana hutannya memang agak terasa "wingit" ada bekas petilasan Sri Sultan juga soalnya
tempatnya sudah rame pa belum mas ini, sepertinya masih sepi sekali ya..
ReplyDeleteterus klo kesana lewatnya mana klo dari solo mas (thanks om tukeran link yuk mas bro :)) )
masih relatif sepi kemarin pas saya datang mas
Deletekalau dari arah Solo langsung saja susurin ring road selatan menuju daerah Pabrik Gula Madukismo, lalu masuk jalan sampai nemu perempatan, dari perempatan belok kanan susurin jalan menuju daerah Desa Krebet (ada petunjuk jalan yang cukup jelas kok)
untuk roda empat, gimana jalannya ? dah bisa belum ya? soalenya, dr tempatku kalo mo pake motor kejauhan.. mana bawa anak kecil... hihihihi
ReplyDeletesudah bisa dilewati mbak hanya saja saya tidak merekomendasikan
Deletesoalnya jalannya cukup sempit dan lumayan naik turun