Kesibukan menjelang perhelatan acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu nampak terlihat dari warga Desa Kemiren yang mulai beramai-ramai membersihkan bagian halaman depan rumah, menata meja dan kursi dengan rapi, memasang lampu hias untuk menambah semarak suasana di malam hari. Tak lupa musik khas Banyuwangian diperdengarkan melalui pengeras suara yang semakin menambah meriah suasana desa.
Suasana meriah begitu kental terasa di sepanjang jalan utama Desa Kemiren petang itu. Seluruh penduduk desa nampak sibuk membersihkan halaman depan rumah sambil menata meja dan kursi untuk menyambut tamu yang akan hadir dalam acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Desa Kemiren, desa adat masyarakat Using, suku asli Banyuwangi.
Hampir seluruh ruas jalan utama di Desa Kemiren sudah ditutup aksesnya untuk kendaraan bermotor sejak menjelang petang guna menyambut acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang akan digelar malam ini. Jalan desa sepanjang kurang lebih 1.5 kilometer ini akan steril dari kendaraan bermotor sehingga pengunjung dapat leluasa berjalan kaki sepanjang jalan desa untuk menikmati Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang memasuki tahun keempat penyelenggaraannya tahun ini.
Suasana meriah begitu kental terasa di sepanjang jalan utama Desa Kemiren petang itu. Seluruh penduduk desa nampak sibuk membersihkan halaman depan rumah sambil menata meja dan kursi untuk menyambut tamu yang akan hadir dalam acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Desa Kemiren, desa adat masyarakat Using, suku asli Banyuwangi.
Hampir seluruh ruas jalan utama di Desa Kemiren sudah ditutup aksesnya untuk kendaraan bermotor sejak menjelang petang guna menyambut acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang akan digelar malam ini. Jalan desa sepanjang kurang lebih 1.5 kilometer ini akan steril dari kendaraan bermotor sehingga pengunjung dapat leluasa berjalan kaki sepanjang jalan desa untuk menikmati Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang memasuki tahun keempat penyelenggaraannya tahun ini.
sajian tape buntut yang menyedot rasa penasaran kami |
Keseruan dan kemeriahan Festival Ngopi Sepuluh Ewu semakin terasa ketika malam tiba. Semua warga masyarakat dan pengunjung yang datang tumpah ruah di sepanjang jalan utama Desa Kemiren. Dengan ramah, para tuan rumah ini menyambut dan mempersilahkan para pengunjung untuk datang bertamu di halaman rumah mereka.
Ide acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini berawal dari tradisi ngopi bersama yang dilakukan oleh masyarakat Using di Desa Kemiren ini. Masyarakat Using di Kemiren memiliki istilah "sak corot dadi seduluran" yang berarti "sekali seduh kita bersaudara". Melalui ngopi bareng inilah menjadi media untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan di antara sesama.
Para tuan rumah mengenakan pakaian terbaik mereka. Pakaian atasan berwarna hitam yang menjadi pakaian adat khas Suku Using. Mereka menyambut para tamu dengan ramah dan mempersilahkan siapapun unuk mampir mencicipi kopi dan hidangan yang sudah tersaji di atas meja.
Di atas meja sudah tertata rapi aneka jajanan tradisional khas masyarakat Using seperti apem, ketan kirip, kue cucur, tape buntut, lepet, dan sebagainya. Awalnya saya agak merasa aneh dan sungkan untuk bertamu di tempat orang yang sama sekali tidak saya kenal. Namun, dengan sapaan dan obrolan hangat dari sang pemilik rumah, membuat suasana menjadi cair dan terasa akrab. Seperti sedang berkunjung ke tempat suadara yang jauh rasanya.
Malam itu saya mengunjungi dua rumah yang berbeda. Walaupun memiliki hidangan jajanan tradisional yang rata-rata sama, namun cara penyajian kopi mereka berbeda.
Di rumah pertama, saya mendapati sajian kopi dengan tipe biji kopi yang digiling lembut sehingga ampas kopi tidak terlalu terasa saat diseduh. Sedangkan di rumah kedua, saya mendapati sajian kopi dengan teknik giling yang tidak terlalu halus sehingga ampas seduhan kopi masih terasa. Hal ini menandakan bahwa walaupun berasal dari biji kopi yang sama, namun setiap keluarga memiliki kebiasaan sendiri untuk mengolah dan menyajian minuman kopi ini.
Kopi yang digunakan untuk acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu adalah kopi asli Banyuwangi, seperti dari daerah Kalipuro, Kalibaru, dan sekitar kaki Gunung Ijen. Keunikan lain dari acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini adalah cangkir yang digunakan untuk menghidangkan kopi. Jika diamati, bentuk dan motif cangkir yang digunakan adalah sama.
Di dalam masyarakat Using sendiri memang memiliki sebuah tradisi untuk menghadiahkan cangkir kopi dalam acara pernikahan. Maka tak heran, jika semua keluarga memiliki bentuk dan motif cangkir yang sama. Konon, setiap keluarga paling tidak memiliki dua set cangkir kopi ini. Di dalam acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini sudah disiapkan kurang lebih sepuluh ribu cangkir kopi untuk menemani para pengunjung yang hadir dalam acara ini hingga tengah malam nanti.
Usai menyesap satu cangkir kopi, saya dan kawan-kawan berpamitan kepada si empunya rumah. Kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalanan desa yang ramai dan meriah. Tampak anak-anak, muda-mudi, orang tua, tumpah ruah menikmati sajian kopi dan jajanan yang disediakan oleh masyarakat Desa Kemiren ini.
Tak hanya meja-meja berisi jajanan dan kopi saja, beberapa panggung hiburan juga disediakan oleh panitia untuk memeriahkan acara. Ada panggung musik, ada pula panggung tari. Nampak beberapa kelompok seni barongan dan jaran goyang khas Kemiren bersiap untuk memeriahkan acara.
Di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini juga terdapat stand edukasi mengenai kopi. Para pengunjung diajak untuk belajar bagaimana untuk mengolah kopi dengan baik bersama barista yang terlatih. Selain itu pengunjung juga diajak untuk coffee cupping secara gratis.
Beberapa stand juga menawarkan produk kopi yang sudah dikemas dengan menarik untuk dibawa sebagai buah tangan. Produk kopi yang ditawarkan asli produksi Banyuwangi, salah satunya adalah merk "Kopi Jaran Goyang" yang merupakan produk andalan asli dari Desa Kemiren.
Beranjak dari stand edukasi kopi, ada hal menarik yang saya temui, yaitu kegiatan roasting kopi tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu paruh baya suku Using. Beliau melakukan proses roasting kopi dengan cara menyangrai biji kopi di atas wajan tanah liat dengan bahan bakar kayu. Proses roasting kopi secara tradisional ini sontak mencuri perhatian para pengunjung yang datang. Mereka berebut untuk mengambil gambar sang simbah yang sedang melakukan proses roasting kopi ini.
Langkah kaki saya berlanjut menuju bagian bawah desa. Lampu-lampu hias terlihat semakin semarak memeriahkan acara. Di sini saya menemui beberapa jajanan tradisional lain yang tidak saya lihat sebelumnya. Ada cenil, serabi khas masyarakat Using, dan juga percet, yaitu jajanan tradisional yang terbuat dari bahan pisang. Jajanan ini ditata cantik di atas meja.
Si empunya rumah dengan telaten menjelaskan satu per satu jajanan tradisional yang disajikan di atas meja ini kepada kami. Sayang, kami tidak bisa mencicipi karena jajanan ini sudah jadi pesanan orang, mungkin tamu khusus yang datang di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini barangkali.
Menjelang pukul delapan malam, suasana Desa Kemiren semakin ramai didatangi pengunjung. Gamelan pengiring tari barongan dan jaran goyang mulai nyaring ditabuh. Acara ceremonial yang dilakukan oleh jajaran pemerintah daerah setempat sudah dihelat pertanda acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini resmi dibuka. Saya dan kawan-kawan memutuskan untuk kembali ke penginapan dan tidak melanjutkan acara ngopi. Besok pagi-pagi sekali kami berencana mengejar matahari terbit di Pantai Boom sehingga kami putuskan untuk beristirahat lebih cepat agar stamina kembali prima.
Acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu memang sebuah acara yang menarik untuk dikunjungi. Para pengunjung dapat membaur bersama masyarakat Using yang tinggal di Desa Kemiren ini. Merasakan keramahan dan kehangatan masyarakat setempat serta sajian kopi yang nikmat dengan jajanan tradisional yang khas menjadi kenangan tersendiri bagi saya saat menyambangi Bumi Blambangan ini.
Ide acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini berawal dari tradisi ngopi bersama yang dilakukan oleh masyarakat Using di Desa Kemiren ini. Masyarakat Using di Kemiren memiliki istilah "sak corot dadi seduluran" yang berarti "sekali seduh kita bersaudara". Melalui ngopi bareng inilah menjadi media untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan di antara sesama.
ibu pemilik rumah sedang menyiapkan sajian kopi untuk para tamu yang berkunjung |
Di atas meja sudah tertata rapi aneka jajanan tradisional khas masyarakat Using seperti apem, ketan kirip, kue cucur, tape buntut, lepet, dan sebagainya. Awalnya saya agak merasa aneh dan sungkan untuk bertamu di tempat orang yang sama sekali tidak saya kenal. Namun, dengan sapaan dan obrolan hangat dari sang pemilik rumah, membuat suasana menjadi cair dan terasa akrab. Seperti sedang berkunjung ke tempat suadara yang jauh rasanya.
Malam itu saya mengunjungi dua rumah yang berbeda. Walaupun memiliki hidangan jajanan tradisional yang rata-rata sama, namun cara penyajian kopi mereka berbeda.
Di rumah pertama, saya mendapati sajian kopi dengan tipe biji kopi yang digiling lembut sehingga ampas kopi tidak terlalu terasa saat diseduh. Sedangkan di rumah kedua, saya mendapati sajian kopi dengan teknik giling yang tidak terlalu halus sehingga ampas seduhan kopi masih terasa. Hal ini menandakan bahwa walaupun berasal dari biji kopi yang sama, namun setiap keluarga memiliki kebiasaan sendiri untuk mengolah dan menyajian minuman kopi ini.
Kopi yang digunakan untuk acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu adalah kopi asli Banyuwangi, seperti dari daerah Kalipuro, Kalibaru, dan sekitar kaki Gunung Ijen. Keunikan lain dari acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini adalah cangkir yang digunakan untuk menghidangkan kopi. Jika diamati, bentuk dan motif cangkir yang digunakan adalah sama.
Di dalam masyarakat Using sendiri memang memiliki sebuah tradisi untuk menghadiahkan cangkir kopi dalam acara pernikahan. Maka tak heran, jika semua keluarga memiliki bentuk dan motif cangkir yang sama. Konon, setiap keluarga paling tidak memiliki dua set cangkir kopi ini. Di dalam acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini sudah disiapkan kurang lebih sepuluh ribu cangkir kopi untuk menemani para pengunjung yang hadir dalam acara ini hingga tengah malam nanti.
keriangan satu rombongan keluarga saat menikmati kopi di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu |
Usai menyesap satu cangkir kopi, saya dan kawan-kawan berpamitan kepada si empunya rumah. Kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalanan desa yang ramai dan meriah. Tampak anak-anak, muda-mudi, orang tua, tumpah ruah menikmati sajian kopi dan jajanan yang disediakan oleh masyarakat Desa Kemiren ini.
Tak hanya meja-meja berisi jajanan dan kopi saja, beberapa panggung hiburan juga disediakan oleh panitia untuk memeriahkan acara. Ada panggung musik, ada pula panggung tari. Nampak beberapa kelompok seni barongan dan jaran goyang khas Kemiren bersiap untuk memeriahkan acara.
Di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini juga terdapat stand edukasi mengenai kopi. Para pengunjung diajak untuk belajar bagaimana untuk mengolah kopi dengan baik bersama barista yang terlatih. Selain itu pengunjung juga diajak untuk coffee cupping secara gratis.
Beberapa stand juga menawarkan produk kopi yang sudah dikemas dengan menarik untuk dibawa sebagai buah tangan. Produk kopi yang ditawarkan asli produksi Banyuwangi, salah satunya adalah merk "Kopi Jaran Goyang" yang merupakan produk andalan asli dari Desa Kemiren.
Beranjak dari stand edukasi kopi, ada hal menarik yang saya temui, yaitu kegiatan roasting kopi tradisional yang dilakukan oleh ibu-ibu paruh baya suku Using. Beliau melakukan proses roasting kopi dengan cara menyangrai biji kopi di atas wajan tanah liat dengan bahan bakar kayu. Proses roasting kopi secara tradisional ini sontak mencuri perhatian para pengunjung yang datang. Mereka berebut untuk mengambil gambar sang simbah yang sedang melakukan proses roasting kopi ini.
Langkah kaki saya berlanjut menuju bagian bawah desa. Lampu-lampu hias terlihat semakin semarak memeriahkan acara. Di sini saya menemui beberapa jajanan tradisional lain yang tidak saya lihat sebelumnya. Ada cenil, serabi khas masyarakat Using, dan juga percet, yaitu jajanan tradisional yang terbuat dari bahan pisang. Jajanan ini ditata cantik di atas meja.
Si empunya rumah dengan telaten menjelaskan satu per satu jajanan tradisional yang disajikan di atas meja ini kepada kami. Sayang, kami tidak bisa mencicipi karena jajanan ini sudah jadi pesanan orang, mungkin tamu khusus yang datang di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini barangkali.
jajanan yang sudah dipesan dan bikin penasaran |
panggung hiburan di acara Festival Ngopi Sepuluh Ewu |
Sayang sekali mas Andika ngak ikut acara ngopi sampai selesai. Pariwisata Banyuwangi lagi ngetrend ya Mas Andika. semoga Banyuwangi makin mendunia
ReplyDeleteiya mas, sudah tepar karena mulai keliling Banyuwangi dari Subuh dan esoknya harus berangkat pagi-pagi lagi, jadi mesti istirahat buat nyiapin tenaga :D
DeleteJadi merk kopi: jaran goyang kaya tarian keseniannya ya mas :)
ReplyDeleteLengkap ga cuma kopi. Tapi kesenian, makanan tradisional dan edukasi.
Aaa banyuwangi :)
iya mbak, tapi jaran goyang sendiri setauku ga hanya di Banyuwangi, di daerah Tapal Kuda yang lain seperti Pasuruan, Probolinggo juga punya kesenian yang sama :D
DeleteWaaaah....kemaren aku udah nyampe tengah2 tapi jalanan macet total akhirnya terpaksa mbalik arah. Sebenere pengen banget lo bisa datang ke acara nhopi sepuluh ewu ini.
ReplyDeleteAnyway,mas blogger banyuwangi?? Salam kenal ya..aku juga dari banyuwangi.
kemarin ga nyoba lewat jalan alternatif mbak? yang dari pertigaan patung ke arah kanan kalau dari kota. lewat sana lancar mbak, pas malamnya sempet cari makan ke kota mlipir jalan sana (ga apal nama jalannya soalnya bukan orang bwi hehe)
DeleteWaaaah aku wes suwiii gak ngikutin festival-festival Banyuwangi :(
ReplyDeletedirimu lagi plesir ke NTT kak pas acara ngopi ini :(
Delete