Situs Gangsiran Aswotomo mungkin masih terdengar asing di telinga para travellers yang sedang berkunjung di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Keberadaan situs ini memang tidak sepopuler situs-situs lain yang berada di kawasan ini. Secara fisik, Situs Gangsiran Aswotomo ini sangat mudah dijumpai karena lokasinya yang strategis, yaitu dekat dengan kompleks percandian Arjuna dan juga terletak di pinggir jalan persis, tepatnya di dekat pertigaan menuju Museum Kailasa. Sekilas situs ini memang terlihat "aneh", bahkan tidak lazim seperti situs-situs sejarah yang biasa kita temui atau kunjungi. Situs ini terlihat "hanya" seperti sebuah bangunan gazebo yang terbuat dari kayu dan beratapkan genting, namun tidak ada tempat untuk duduk. Jika diamati lebih dekat, di tengah-tengah bangunan mirip gazebo tersebut terdapat lubang dengan kedalaman kira-kira tiga sampai dengan lima meter dan terdapat genangan air di dalamnya.
Satu pertanyaan yang kemudian melayang di kepala saya adalah bangunan ini sebenarnya sebagai tempat pembuangan sampah, lapangan untuk tempat berjemur warga sekaligus sebagai tempat menjemur pakaian, sumurkah, atau saluran pembuangan air? Saya kira tempat pembuangan sampah karena di dalam lubang Gangsiran Aswotomo tersebut terlihat sampah-sampah rumah tangga yang dimasukkan ke dalam lubang. Seperti lazimnya orang-orang di daerah pedesaan yang biasanya membuat lubang di pekarangan rumah untuk menampung sampah rumah tangga. Tapi sepertinya tidak mungkin jika bangunan tersebut "hanya" sebuah tempat pembuangan sampah bukan? Lokasi tersebut sebagai tempat berjemur dan tempat menjemur pakian warga? Agak janggal memang, tetapi faktanya di sekitar lokasi bangunan tersebut banyak warga terutama pada pagi menjelang siang banyak yang bersantai di sekitar rerumputan untuk berjemur menghangatkan badan serta tak lupa juga banyak warga yang menjemur pakaian mereka agar lebih cepat kering. Yak, kebiasaan warga inilah yang menjadikan rata-rata warga di kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki kulit yang rata-rata berwarna sawo kematangan, karena mereka berjemur pada saat matahari cukup terik, yaitu sekitar pukul 10 pagi hingga 12 siang.
Jika dikatakan sebagai sebuah sumur, memang sekilas bangunan ini lebih mirip dengan sumur, yaitu dengan adanya lubang dan juga genangan air. Namun jika dikatakan sumur agak sedikit janggal juga mengingat kedalaman lubang yang tak seberapa serta air yang ada di dalamnya tidak terlalu jernih. Lagi pula jika ingin menggali sumur di daerah pegunungan bukannya membutuhkan kedalaman yang cukup dalam bukan? Dari beberapa informasi yang saya dapat dari penduduk sekitar sih Gangsiran Aswotomo ini lebih berfungsi sebagai saluran pembuangan air yang berfungsi untuk mengeringkan air yang menggenangi wilayah Dataran Tinggi Dieng, terutama di daerah sekitar kompleks Candi Arjuna karena kontur tanahnya yang memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Konon katanya zaman dahulu kompleks percandian Arjuna ini merupakan bekas telaga atau rawa. Jika dirasakan sih kontur tanah di kompleks tersebut mirip seperti lahan gambut karena cukup empuk ketika diinjak. Gangsiran Aswotomo ini berfungsi untuk mengalirkan air yang menggenangi area percandian Arjuna sehingga kompleks tersebut bebas dari genangan air.
Terlepas dari cerita yang beredar tersebut, kondisi Gangsiran Aswotomo ini memang terlihat cukup memprihatinkan karena masih kurangnya perawatan dan kurangnya kesadaran masyarakat sekitar akan nilai historis dari bangunan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya sampah-sampah yang dibuang begitu saja di dalam lubang Gangsiran Aswotomo tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya informasi yang lebih rinci mengenai sejarah maupun fungsi keberadaan bangunan Gangsiran Aswotomo ini. Memang sih sekilas tempat ini kurang memiliki point of interest dibandingkan dengan obyek-obyek lainnya. Seandainya saja terdapat informasi mengenai bangunan ini tentu saja akan lebih menambah nilai edukasi bagi pengunjung di kawasan Dataran Tinggi Dieng ini.
No comments:
Post a Comment